A. Aqiqah
“Aqiqah”
berarti bulu atau rambut anak yang lahir, beberapa istilah aqiqah adalah
menyembelih hewan pada hari ketujuh dari hari lahirnya anak[1],
hukum aqiqah adalah sunnah mu’akkad bagi orang tua (atau orang yang wajib
memberi nafkah kepada bayi). Waktu penyembelihan hewan aqiqah adalah dimulai
ketika bayi sudah lahir sempurna, sedangkan tidak ada batas akhirnya. Jika sampai
baligh anak tersebut belum diaqiqahi maka anak tersebut mengaqiqahi dirinya
sendiri, sebaiknya aqiqah dilakasanakan hari ketujuh.[2]
عَنْ عَائِشَةَ
قاَلَتْ اَمَرَنَا رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ نُعِقَّ عَنِ
اَلْغُلَامِ بِشَاتَيْنِ وَعَنْ اَلْجَارِيَةِ بِشَاةٍ (رَوَاهُ اَلتِّرْمِذِيُّ
وابن ماجه)
Dari 'Aisyah ra Rasulullah SAW telah menyuruh kita supaya menyembelih
aqiqah untuk anak laki-laki dua ekor kambing dan untuk bayi perempuan seekor
kambing.
Ada
perbedaan tentang jumlah binatang aqiqah untuk seorang anak, pada hadits diatas
Imam syafi’i dan Imam hambili sepakat dengan hadits yang diatas, karena beliau
berpendapat bahwa anak laki-laki dua ekor kambing sedang bagi anak perempuan
seekor kambing. Berbeda dengan Imam malik berpegang pada hadits yang artinya
sebagai berikut, “dari Ibnu Abbas”, semoga Allah meridloinya, bahwasanya nabi
SAW. Telah mengaqiqahkan cucunya Hasan dan Husain, masing-masing seekor Kibas.
(HR. Ashakus Sunan).[3]
Binatang
yang sah menjadi aqiqah sama dengan keadaan binatang yang sah untuk qurban,
macamnya, umurnya, dan jangan bercacat.
Kalau hanya
menyembelih seekor saja untuk anak laki-laki, hal itu sudah memadai. Disunatkan
dimasak lebih dahulu, kemudian disedekahkan kepada fakir miskin. Orang yang
melaksanakan aqiqah pun boleh memakan sedikit dari daging aqiqah sebagaimana
qurban, kalau aqiqah itu sunah (bukan nazar).[4]
Dalam pelaksanaannya aqiqah tidak dapat digabung
dengan berkurban. Jumhur fuqaha berpendapat bahwa aqiqah itu hanya berlaku bagi
anak kecil saja, berdasarkan hadits yang menyatakan bahwa tiap-tiap anak
tergadai pada aqiqahnya, yaitu dengan menyembelih binatang aqiqah pada hari
ketujuh dari hari kelahirannya. Sedangkan sebagian fuqaha berpendapat bahwa
aqiqah itu boleh dilakukan setelah seseorang dewasa,[5]
berdasarkan hadits :
عن انس ان النبي صلى الله عليهوسلم عق نفسه
بعد مابعث بالنبوة
Artinya; “ Dari
anas semoga Allah meridloinya berkata; “ Bahwasanya Nabi Muhammad SAW
mengaqiqahkan dirinya setelah diangkat menjadi nabi (setelah berumur 40 tahun).
Dari kedua
pendapat ini dapat disimpulkan bahwa penyembelihan aqiqah yang baik ialah
dilakukan pada hari ketujuh dari hari kelahiran seorang anak, sedangkan bagi
orang yang belum diaqiqahkan, maka aqiqah itu dapat dilakukan setelah umur
dewasa.
Menurut Imam
as-Shan’ani dalam kitabnya Subulus Salam mengomentari hadits Aisyah dengan
perkataannya “Hadits aisyah menunjukkan bahwa jumlah kambing yang disembelih
untuk bayi perempuan ialah setengah dari bayi laki-laki.[6]
Adapun hadits ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari
kakeknya, bahwasanya Rasulullah bersabda:
من ولد له ولد
فأحب أن ينسك عنه فلينسك عن الغلام شاتان مكافئتان وعن الجارية شاة
“Barangsiapa yang anaknya lahir lalu dia ingin
menyembelih (aqiqah) untuknya maka hendaknya dia menyembelih dua kambing yang
serupa sifatnya untuk anak lelaki dan seekor kambing untuk anak perempuan.”
Setelah menyebutkan dua hadits dan
Hadits lainnya al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari “semua hadits
yang semakna ini menjadi hujjah bagi jumhur ulama dalam Aqiqah bagi anak
laki-laki dengan dua ekor kambing dan bagi wanita dengan seekor kambing.[7]
Adapun syarat-syarat
melaksanakan aqiqah yaitu:
1.
Dari sudut umur binatang Aqiqah
& korban sama sahaja.
2.
Sembelihan aqiqah dipotong mengikut
sendinya dengan tidak memecahkan tulang sesuai dengan tujuan aqiqah itu
sebagai “Fida” (mempertalikan ikatan diri anak dengan Allah SWT).
3.
Sunat dimasak dan dibagi atau dijamu
fakir dan miskin, ahli keluarga, tetangga dan saudara. Berbeda dengan daging
qurban, sunat dibagikan daging yang belum dimasak.
4.
Anak lelaki disunatkan aqiqah dengan
dua ekor kambing dan seekor untuk anak perempuan kerana mengikut sunnah
Rasulullah.
B. Qurban
Qurban dalam
bahasa Arab disebut ”udhiyah”, yang berarti menyembelih hewan pada pagi
hari. Sedangkan menurut istilah, Qurban adalah beribadah kepada Allah dengan
cara menyembelih hewan tertentu pada hari raya Idul Adha dan hari tasyrik
(tanggal 11,12 dan 13 Zulhijah)[8]
Perintah
menyembelih Qurban Firman Allah SWT:
!$¯RÎ) š»oYø‹sÜôãr& trOöqs3ø9$# ÇÊÈ Èe@|Ásù y7ÎntÏ9 öptùU$#ur ÇËÈ
Sesungguhnya
Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat
karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.
Yang
dimaksud berkorban di sini ialah menyembelih hewan Qurban dan mensyukuri nikmat
Allah.
Sebagian
ulama’ berpendapat bahwa kurban itu wajib, sedangkan sebagian lain berpendapat
sunat. Alasan yang
berpendapat wajib, sesuai dengan firman Allah QS. Al-Kautsar ayat 1-2.
Sunnah,
berdasarkan hadist Nabi Muhammad SAW menjelaskan:
اُﻤِﺭْﺖُﺒِﺎﻠنَحْرِﻮَﻫُﻭَﺴُنَةٌ
لَكُمْ (رواه الترمذى)
”Saya
disuruh menyembelih qurban dan qurban itu sunat bagi kamu”
Sunnah
Muakkad, berdasarkan hadist riwayat Daruqutni menjelaskan:
كُتِبَ عَلَيَّ
النَّحْرُ وَلَيْسَ بِوَاجِبٍ عَلَيْكُمْ (رواه الدارقطنى)
”Diwajibkan
melaksanakan Qurban bagiku dan tidak wajib atas kamu.”
Binatang
yang sah untuk qurban ialah yang tidak bercacat, misalnya pincang, sangat
kurus, sakit, putus telinga, putus ekornya, dan telah berumur sebagai berikut:
1.
Domba yang telah berumur satu tahun
lebih atau sudah berganti gigi.
2.
Kambing yang telah berumur dua tahun
atau lebih.
3.
Unta yang telah berumur lima tahun
atau lebih.
4.
Sapi, Kerbau yang telah berumur dua
tahun atau lebih.[9]
Waktu
penyembelihan hewan qurban dimulai matahari melambung dari terbitnya pada hari
idul adha yaitu tanggal 10 Dzulhijjah, kira-kira cukup untuk melaksanakan
shalat dua raka’at dan khutbah dua kali yang cepat (cukup melaksanakan
rukun-rukunnya) sampai terbenamnya matahari pada akhir hari tasyrik yaitu
tanggal 13 Dzulhijjah. Namun, yang paling utama penyembelihan dilaksanakan
setelah selesai shalat Idul Adha sekira matahari sudah kadar satu tombak.
Sebaiknya penyembelihan di tempat yang enak, tidak keras. Dilaksanakan pada
siang hari kecuali ada hajat, maka pada malam hari.[10]
Untuk akhir
hari menurut agama islam, ialah terbenamnya matahari pada hari itu, seperti
akhir tanggal 29 Sya’ban ialah terbenamnya matahari pada tanggal 29 Sya’ban itu
dan sebagainya. Demikian pula akhir hari tasyriq ialah terbenamnya matahari
pada tanggal 13 Dzulhijjah. Mengenai penyembelihan pada malam hari pada hari
raya Idul Adha, Imam malik tidak membolehkannya, sedangkan Mazhab syafi’i
membolehkannya, sebab perbedaan pendapat itu, ialah karena perbedaan pendapat mereka
tentang arti “yaum” yang terdapat pada ayat 28 Surat Al hajj dan dalam hadits
diatas. Menurut Imam malik, yaum berarti siang hari saja, tidak termasukdi
dalamnya malam hari, sedang menurut Madzhab Syafi’i arti yaum ialah siang hari
termasuk dalamnya malam hari.
Jika ingin
mengikuti perbuatan Rasulullah, maka Rasulullah menyembelih binatang korban
pada siang hari, tidak pernah beliau menyembelih pada malam hari. Tetapi tidak
ada larangan beliau yang menyatakan tidak boleh menyembelih binatang korban
pada malam hari.
Menyembelih
qurban sebaiknya pada siang hari, bukan malam hari pada tanggal yang telah
ditentukan itu. Menyembelih pada malam hari hukumnya sah, tetapi makruh. Tempat
pelaksanan qurban adalah diutamakan didekat tempat sholat idul adha.[11]
Sedangkan
untuk pembagian daging kurban itu dapat :
1.
Dimakan oleh orang yang berkurban
beserta keluarganya
2.
Disedekahkan kepada fakir dan miskin
Hal ini
sesuai firman Allah SWT:
#sÎ*sù
ôMt7y_ur
$pkæ5qãZã_
(#qè=ä3sù
$pk÷]ÏB
(#qßJÏèôÛr&ur
yìÏR$s)ø9$#
§tI÷èßJø9$#ur
4
36. kemudian apabila telah roboh (mati), Maka makanlah
sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya
(yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.
Dan Jika
tidak habis dimakan dan setelah disedekahkan, masih ada sisanya maka daging
kurban itu boleh disimpan setelah dikeringkan oleh yang berkurban.
Sedangkan
para ulama’ sepakat bahwa daging binatang kurban itu tidak boleh dijual,
kecuali mazhab hanafi, mereka membolehkannya, kemudian hasil penjualan itu
disedekahkan kepada fakir miskin atau digunakan untuk keperluan segala yang
berhubungan dengan menegakkan kalimat Allah. [12]
Adapun cara
menyembelih hewan qurban adalah sebagai berikut:
1.
Cara menyembelih sama dengan
penyembelihan yang disyaratkan Islam, yakni penyembelih harus orang Islam
(khusus qurban, sunnah penyembelih adalah yang berqurban sendiri, jika
diwakilkan disunatkan hadiri pada waktu penyembelihannya).
عَنْ اَنَسٍ
اَنَّهُ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ التَّضْحِيَّةِ اَلَّلهُمَ
تَقَبّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَاَلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ اُمَّةٍ مُحَمَّدٍ (رواه البخارى
ومسلم)
“Dikabarkan oleh Anas bahwa
Rasulullah SAW telah berqurban dengan dua ekor kambing yang baik-baik, beliau
sembelih sendiri, beliau baca bismillah, dan beliau baca takbir.”
2.
Alat untuk menyembelih harus benda
tajam. Tidak boleh menggunakan gigi, kuku dan tulang.
3.
Memotong 2 urat yang ada di
kiri-kanan leher agar lekas matinya, tetapi jangan sampai putus lehernya
(makruh).
4.
Binatang yang disembelih hendaklah
digulingkan ke sebelah kiri tulang rusuknya agar mudah saat penyembelihan.
5.
Hewan yang disembelih disunnahkan
dihadapkan ke arah Kiblat.
6.
Orang yang menyembelih disunatkan
membaca:
a) Basmalah
b) Shalawat
c) Takbir
d) Do`a:
Hikmah
seseorang yang telak melaksanakan qurban ialah:
1.
Menambah cintanya kepada Allah SWT
2.
Akan menambah keimanannya kepada
Allah SWT
3.
Dengan berQurban, berarti seseorang
telah bersyukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia yang telah
dilimpahkan pada dirinya.
Dengan berQurban, berarti seseorang telah berbakti
kepada orang lain, dimana tolong menolong, kasih mengasihi dan rasa solidaritas
dan toleransi memang dianjurkan oleh agama Islam.
[1] Sulaiman
Rasyid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindio, 2012), hlm., 479
[2] Muhamad Sokhih
Asyhadi, Fiqih Ibadah Versi Madzhab Syafi’, hlm., 204.
[3] Zakiah
Daradjat, Ilmu Fiqih, PT. Dana Bhakti
Wakaf, Yogyakarta, 1995, hlm. 438
[4]
Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, hlm., 481.
[5] Zakiah
Daradjat, Op-cit, hlm. 439
[6] Abu Muhammad
‘isom bin Mar’i, Perayaan Aqiqah Menurut Islam, ( Yogyakarta : Litera
Sunny, 1997), hlm., 29.
[7] Abu Muhammad
‘isom bin Mar’i, Perayaan Aqiqah Menurut Islam, hlm. 29.
[8] Muhamad Sokhih
Asyhadi, Fiqih Ibadah Versi Madzhab Syafi’i, (Pondok Pesantren Fadllul
Wahid Ngangkruk Bandungsari-Grobogan), hlm., 198.
[9] Sulaiman
Rasyid, Fiqih Islam, hlm., 475-476
[10] Muhamad Sokhih
Asyhadi, Fiqih Ibadah Versi Madzhab Syafi’i, hlm., 202.
[11] Aizul Maula,
Fiqih Untuk kelas X Madrasah Aliyah, URANUS Publishing, 2011, hlm. 36
[12] Zakiah
Daradjat, Ilmu Fiqih, hlm. 436